Pendapat
Syiah tentang Imamah
Pertama kali yang menulis dan
mencetuskan ide imamah (kepemimpinan) melalui dialek dan kemudian menjadi
mazhab sendiri adalah Syiah. Latar belakang Syiah mencetuskan konsep imamah
seperti itu adalah ketika terjadi perdebatan yang sangat panjang dan alot tentang
siapa yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW untuk memimpin umat Islam. Perdebatan
yang terjadi antara dua golongan (Muhajirin dan Anshar) akhirnya membuahkan
hasil tentang siapa yang berhak memimpin umat sepeninggalan Nabi Muhammad,
melalui perdebatan yang alot akhirnya Abu Bakar As-Shiddiq r.a. yang terpilih
untuk memegang tampuh kepemimpinan umat Islam.
Salah satu alasan kenapa Abu Bakarlah
yang kemudian terpilih menjadi imam menggantikan Nabi Muhammad dikarenakan Abu
Bakar pernah di suruh menjadi imam shalat ketika Nabi Muhammad sakit, atas
dasar itulah kemudian para sahabat menunjuk Abu Bakar untuk memimpin umat. Akan tetapi, para pengikut setia Ali bin Abi
Thalib kecewa dengan keputusan ini, mereka menganggap bahwa Ali lah yang berhak
memimpin umat sesudah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW bukan Abu Bakar atau
sahabat-sahabat yang lain, dengan alasan sudah ada nash yang menyebutkan bahwa
Nabi telah mengutus Ali untuk menggantikannya memimpin umat.
Kritikan
Kritikan yang saya tulis disini mengenai pendapat golongan Syiah yang mengatakan bahwa seharusnya pengganti Imamah (kepemimpinan) Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, karena Nabi SAW sendiri telah mengatakan demikian kepada Ali bin Abi Thalib. Saya mengkritiknya sebab tidak ada nash yang menyebutkan secara khusus bahwa Nabi SAW telah menunjuk Ali untuk menggantikannya sepeninggalan beliau. Adapun jika Nabi SAW mengatakan kepada Ali untuk menggantikan kepemimpinannya pastilah beliau mengatakannya kepada seluruh sahabat secara terang-terangan, bukan hanya kepada Ali. Dan ini sama halnya ketika Nabi SAW mensabdakan tentang kewajiban sholat lima waktu, kewajiban mengeluarkan zakat dan berpuasa di bulan ramadhan serta mengerjakan haji. Apalagi ini menyangkut imamah yang merupakan hal yang sangat penting untuk di ketahui oleh umat, agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman tentang siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan Muhammad SAW untuk memimpin umatnya. Dan menurut saya Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengatakan kepada Ali tentang siapa yang akan menggantikannya ketika dia wafat. Lebih dari itu, mayoritas orang memang mengakui keutamaan Sayyidina Ali dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain, tapi bukan berarti mereka menyetujui pendapat Syiah yang mengatakan bahwa Ali dan keturunannya yang berhak menggatikan kepemimpinan Nabi SAW.Selain itu, yang menjadi landasan Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan Ali sebagai imam sesudah kepemimpinan beliau yaitu peristiwa pengangkatan Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid, Abdullah bin Ruwahah dan lain-lain untuk menjadi amir atau Qadhi. Menurut saya kedudukan antara Qadhi dengan imamah lebih tinggi imamah, karena kekuasaan imam mencakup umat, sedangkan Qadhi hanya sebagai Gubernur yang cakupan kekuasaannya lebih sempit dibandingkan imam. Maka hal itu hendaknya tidak dijadikan sebagai landasan untuk membenarkan pengangkatan Ali sebagai imam menggantikan Nabi.Saya sependapat dengan Imam Al-Baqilani yang mengatakan bahwa nash yang pernah Nabi sabdakan yaitu “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka kini Ali menjadi maulanya” menurut Al-Baqilani kata “maula” itu mengandung banyak arti. Kata Maula dalam bahasa Arab sama sekali tidak mengandung arti Aula melainkan mempunyai banyak makna. Yaitu:
1. Penolong
2. Anak
paman
3. Bekas
budak yang dicintai
4. Tempat
atau kediaman
5. Pembebas
budak yang mempunyai hak atas warisan si bekas budak
6. Pembebas
budak itu sendiri
7. Tetangga
8. Ipar,
dan
9. Mitra
dalam pakta perjanjian.
Maka
dari itu tidak ada arti imam yang wajib di taati.
Referensi
Rais,
Dhiauddin, 2001. Teori Politik Islam,
Jakarta: Gema Insan Press
Yusuf,
M. Musa, 1963. Politik dan Negara dalam
Islam, Surabaya: Al-Ikhlas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar